Bagi kami Caritas Ketapang, boleh menggunakan program CM(DRR) atau CMLP sebagai program pemberdayaan yang berbasis masyarakat untuk menjadikan komunitas sebagai subyek, komunitas yang punya daya tahan adalah pilihan yang cocok dan sangat membantu masyarakat membantu diri mereka sendiri saat ini. CM memiliki beberapa tool yang sangat cocok untuk konteks Ketapang. Tools yang kami maksud seperti: SKLP.(studi kelayakan livelihood partisipasi), P3 (penggalian pembelajaran partisipatif), Studi banding, Sekolah lapangan. Yang menarik, setiap aksi disertai dengan aksi-refleksi untuk membuat aksi berikutnya.
Mengapa?
· Konteks Ketapang sebagai sebuah kabupaten yang luas penduduknya terhampar di wilayah pedalaman sementara pemerintahan ada di pesisir/pantai.
· Minimnya akses pendidikan kesehatan dan tranportasi untuk wilayah pedalaman Kalimantan.
· Masuknya perusahan kelapa sawit dan penambangan bauksit sangat berpeluang merusak lingkungan, banyak yang kehilangan lahan.
· Kecendrungan untuk menjadikan komunitas sebagai obyek pembangunan semakin menjadi jadi.
· Semua persyaratan dan kegiatan sudah didisign sedemikian rupa, masyarakat tinggal terima jadi
Project oriented sudah menjadi trend masyarakat dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap dampak negatip perijinan perkebunan sawit yang seluas luasnya untuk perusahan. Banyak yang jual tanah. Mereka belum siap jadi buruh tani sawit.
Mengubah orientasi yang sedemikian itu, benar-benar berat dan sulit. Namun menilik ciri kas dari pendekatan berdasar pengorganisasian ditingkat komunitas yang menekankan kebersamaan, proses, solidaritas, kearifan local, demokrasi, participasi, memungkinkan masyarakat belajar membela diri mereka, belajar berproses, belajar membangun diri mereka sendiri dengan demikian diharapkan muncul sebuah ketahanan yang tidak dipoles dari external namun sungguh berakar dalam diri komunitas.
Salah satu alat dari pendekatatan model CMLP adalah SKLP, studi kelayakan livelihood participative. Senada dengan kajian untuk mengukur tingkat kebencanaan dalam PRB, seperti komunitas didampingi untuk mengukur tingkat resiko, kemampuan untuk menghadapi kebencanaan, agar punya kesiapan untuk beradaptasi ketika bencana itu datang, demikian SKLP menjadi alat yang sangat baik dan sangat menentukan untuk perjuangan komunitas, untuk mendampingi komunitas membangun kehidupan/penghidupannya dalam rangka menghadapi kebencanaan yang sewaktu waktu bisa datang. Komunitas didampingi untuk melewati 12 kajian tahap demi tahap, sampai akhirnya mereka memiliki pemahaman bahwa comunitas sebagai sarana pembelajaran pelan pelan harus menjadikan mereka memiliki kesadaran kekompakan ,kekuatan,kokoh, terorganisir, rasa aman, dalam menghadapi segala bentuk resiko bencana.
Refleksi pelaksanaan sesi kajian SKLP, pemetaan stakeholder, konsolidasi hasil SKLP & pembentukan kelompok; Belajar Pelaksanaan Tahapan P3, Fasilitasi Perencanaan Aksi di Masyarakat; Fasilitasi Penulisan Proposal Partisipatif, sebuah pengalaman yang sangat berharga meski memakai alat kajian ini luar biasa sulit, tapi terlampaui juga, meski katanya melelahkan, menoton, banyak waktu terbuang, sulit mengumpulkan orang, namun sekurang-kurangnya mereka punya alat control dalam bentuk RK, sekurang kurangnya desa tahu ada kelompok yang memiliki perencanaan yang baik, sekurang kurang mereka kalau mendengar bantuan mulai berani mempertanyakan, apakah itu bantuan awal pemantik atau memang projek bantuan sementara. Yang jelas mereka hingga saat ini masih tekun meneruskan program, proteksi karet, dan ert dan promosi kehidupan lain seperti bersawah, beternak.
Pada akhirnya learning review sebagai bagian dari evaluasi dari aksi refleksi yang sudah dibuat dapat menjadi alat ukur seberapa besar tingkat partisipasi komunitas dalam membangun kolompok yang kokoh, tanggguh,tanggon.
Akhirnya lembaga juga mempunyai pegangan alat pendamping yang terukur dan lebih sistimatis untuk sebuah pembelajaran komunitas yakni pendekatan CM. (Rm. Ign. Made sukartia,Pr)